Perlawanan dengan mengandalkan senjata, sudah lama ditinggalkan. Tapi, perjuangan untuk bebas dari penjajahan, masih terpatri dalam sanubari seorang Thadius Yogi. Pemerintah masih melancarkan jurus-jurus jitu untuk memendamkan gelora kemerdekaan, menjinakkan para pejuang, termasuk pria berperawakan kekar dan tinggi itu.
Keluar masuk hutan sudah dilaluinya sejak tahun 1978 usai menamatkan sekolah guru (SPG) di Jayapura. Mengandalkan semangat juang tinggi, ia berikhtiar demi satu tujuan, ingin hidup bebas di Tanah Papua. Tak heran jika kemudian selama perjuangannya, sudah banyak memakan korban. Banyak pengikutnya meninggal dunia. Ada yang tertembak dalam sebuah kontak senjata, sebagian lain meninggal karena sakit dan lapar di tengah hutan belantara.
Gigitan nyamuk dan amukan binatang liar saat bergerilya di tengah rimba, bukan penghalang bagi pria kelahiran Madi itu. Ia bahkan pernah melancarkan beberapa kali serangan kepada aparat keamanan yang memburunya dalam suatu operasi militer. Tapi, upaya menghentikan perlawanan tak pernah berhasil diredam. Dengan cara apapun, termasuk bidikan timah panas pun selalu lolos. Setelah sekian puluh tahun mengembara di tengah belantara Papua, Thadius Yogi dan gerombolannya mulai pulang kampung. Sekitar pertengahan tahun 2000, ia berhasil menguasai dusun Eduda.
Keputusan pulang kampung, memang mengundang beragam reaksi. Sebagian menilai, Yogiibo –sapaan akrab– sudah tidak seperti dulu. Ia sudah menyerah ke tangan Indonesia? Begitu prasangka yang menyeruak saat itu.
“Saya bukan menyerah. Saya tetap berjuang, tetapi sekarang dengan cara lain. Tidak lagi dengan senjata,” ujarnya mantap.
Upaya pemerintah merebut hati sang gerilyawan tak pernah berhasil. Buktinya, tahun 2002, pemerintah menawarkan jabatan politik tertentu untuk segera kembali ke pangkuan NKRI. Selain itu, kompensasi atas tanah adat milik klan Yogi di Madi yang kini dipakai Pemerintah Kabupaten Paniai dijanjikan akan dibayar dengan dana yang cukup menggiurkan.
Tapi, bagi Yogiibo, pembayaran kompensasi tersebut tak perlu dipolitisir. Jika pemerintah mau bayar, ya bayar uang kompensasi saja, tak usah diembel-embel dengan unsur politik. Lantaran beda persepsi dan tak ada kata sepakat, hingga kini persoalan lokasi tersebut belum tuntas. Permintaan Thadius dianggap terlalu berlebihan, sementara pemerintah daerah berdalih jika besaran dana yang dipatoknya dibayar berarti itu otomatis merupakan satu bargaining politik untuk kembali menjadi warga negara Indonesia yang baik, tidak lagi menjadi pemberontak.
Meski begitu, tawaran demi tawaran yang diperdagangkan pemerintah tak jua meruntuhkan hati seorang Daidabi –nama adat Panglima Kodap IV Paniai TPN West Papua.
Dalam berbagai kesempatan, misalnya saat perayaan 1 Desember 2008, ia berbicara lantang mengenai pengalaman pahit yang sangat menyedihkan yang dialami rakyat Papua sepanjang sejarah hidup semenjak terjadinya proses aneksasi puluhan tahun silam.
Itu sebabnya, komitmen untuk membebaskan Negeri Kasuari dari jeratan penjajah, masih begitu kuat mengental dalam sanubarinya. Totalitas bagi pembebasan Papua tak perlu diragukan lagi, karena telah dibuktikan: setia bergerilya meski dalam kondisi apapun.
Keberadaannya cukup merepotkan aparat keamanan. Ya, gerak-gerik gembong Thadius Yogi cukup menyita perhatian Jakarta. Perjuangannya dianggap satu ancaman negara ini. Karena itu, Yogi harus diamankan..
Alhasil, berbagai upaya pun dilakukan pemerintah bersama aparaturnya untuk menjinakkan Yogiibo. Mulai dari kontak senjata melalui berbagai operasi militer hingga yang lunak, negara menganggarkan dana khusus dengan sandi bantuan sosial berupa pembangunan perumahan bagi Thadius Yogi dan para pengikutnya.
Terakhir, bekas Menkokesra, Aburizal Bakrie datang langsung ke Paniai dengan agenda khusus yakni, bertemu langsung dengan Yogiibo. Bersamaan dengan itu bekas Menkokesra juga hendak menyerahkan bantuan sosial. Anggaran yang disiapkan bukan main, 6 Miliar! Tapi, ia tolak. Bagi Tadius Yogi, mungkin uang bukan segala galanya, masih banyak jalan untuk bertahan hidup.
Bukan hanya itu. Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Paniai juga tak kehilangan akal. Mereka melancarkan berbagai taktik menggenapi pesan Jakarta. Baru-baru ini pemerintah daerah sempat mendekati Thadius Yogi dengan setumpuk rupiah. Konon kabarnya, uang tersebut hendak diberikan terkait kompensasi lokasi di Madi. Tak berlebihan bila saat pertemuan, terdengar kata jimat bahwa anggaran itu tidak dipandang dari sisi politik. Bukan hendak memendam aspirasi kemerdekaan yang didengungkannya sejak lama. Tapi katanya itu dana kompensasi tanah. Sumber lain menyebut, dana tersebut dalam rangka pengamanan Pemilu 2009. Betulkah?
Entahlah. Tapi yang jelas, informasi pertemuan itu pun sontak saja tersiar luas. Tak pelak, pelbagai isu langsung menggema. Dari mulut ke mulut. Bahkan terdengar hingga keluar Paniai.
Yogiibo dihujat rakyat habis-habisan. Ia dicap pembangkang.Pengecut. Yudas. Dan sederet label lainnya. Meski terus dicebir dan dicurigai, ia tak bergeming sedikitpun. Komitmennya tak akan terbayarkan dengan uang atau barang. Kalau pemerintah mau bantu rakyat, bangun rumah, jalan atau jembatan, obat gratis, jalankan program pembangunan, silakan saja. “Itu kewajibannya. Tapi dengan ini semua tidak akan mematikan perjuangan murni kami,” tekadnya.
Perjuangan yang dilakoni Yogi semenjak awal memilih hidup menjadi pejuang bagi pembebasan negeri dan rakyat di Tanah Papua, tetap dilanjutkan meski selama ini muncul beragam rayuan pemerintah untuk menyerah dan kembali menjadi warga NKRI.
Baginya, trik politik yang dimainkan Jakarta bukan hal baru. Serupa juga dialami rekan pejuang lainnya. Kalaupun pemerintah berhasil meng-Indonesia-kan pejuang tertentu di beberapa daerah, seperti di Oksibil, itu hanyalah rekayasa belaka. TPN dan OPM tak mungkin menyerah sebelum menggapai impiannya yang telah dibayar mahal dengan derai air mata dan darah.
Panglima Operasi Papua Merdeka (OPM), Makodam IV Paniai Papua Barat, Tadius Yogi menolak bertemua dengan Menko Kesra Republik Indonesia, Aburizal Bakrie yang dijadwal pada tanggal 9 September 2009. Tadius Yogi menolak bertemu Menko Kesra karena pertahanan puluhan tahun di hutan Papua Barat adalah bukan soal makan minum.
“Kami tidak bisa didekati dengan soal makam dan minum. Ini bukan soal kesejahteraan. Kami pertahankan perjuangan selama puluhan ini bukan soal makan minum. Kami pertahankan Kemerdekaan Papua Barat (1 Desember 1961) yang pernah dicuri Indonsia,” katanya kepada WPToday.
“Katanya, pemerintah Indonesia melalui Menko Kesra menyiapkan uang Rp 60 Milyar untuk membayar saya supaya mundur dari perjuangan Papua Merdeka. Tetapi, pertahanan puluhan tahun itu tidak senilai dengan Rp 60 Milyar. Uang itu adalah yang mereka dapat dari kekayaan di Papua Barat. Ratusan ribu nyawa yang korban demi Papua Barat tidak akan pernah sia-sia, apalagi dibayar dengan uang Rp 60 Milyar. Itu tidak mungkin,” kata Tadius. Soal uang itu tidak mungkin, soal Papua bukan makan dan minum semata.
Menanggapi kunjungan bekas Menko Kesra Aburizal ke Paniai. Tadius mengatakan, Dia itu datang ke Paniai untuk bertemu dengan pejabat pemerintah Indonesia yang ada di Paniai. “Bukan ketemu saya. Memang, pemerintah Kabupaten Paniai sudah menghubungi saya tentang rencana pertemuan khusus.Tetapi saya menolak dengan tegas.Dia berkunjung ke Paniai itu dalam rangka peresmian pembangunan permukiman terpadu tahap pertama di Kabupaten Paniai, di Kota Enarotali.
“Kalau mau melakukan pertemuan, seharusnya dia harus mencoba pertemuan yang lebih luas. Hadirkan berbagai pihak yang berkompeten. Pihak Jakarta tidak bisa berbuat seperti itu. Harus ada PBB, Belanda, Amerika dan Indonesia, maka rakyat Papua akan datang untuk bicara sama-sama soal Papua Barat,” katadia.
Menjawab soal pertahanan dan perjuangannya, menurut dia Papua Barat siap merdeka. Perjuangan Papua sudah jauh. Ratusan ribu nyawa orang Papua tidak akan pernah sia-sia.(
Keluar masuk hutan sudah dilaluinya sejak tahun 1978 usai menamatkan sekolah guru (SPG) di Jayapura. Mengandalkan semangat juang tinggi, ia berikhtiar demi satu tujuan, ingin hidup bebas di Tanah Papua. Tak heran jika kemudian selama perjuangannya, sudah banyak memakan korban. Banyak pengikutnya meninggal dunia. Ada yang tertembak dalam sebuah kontak senjata, sebagian lain meninggal karena sakit dan lapar di tengah hutan belantara.
Gigitan nyamuk dan amukan binatang liar saat bergerilya di tengah rimba, bukan penghalang bagi pria kelahiran Madi itu. Ia bahkan pernah melancarkan beberapa kali serangan kepada aparat keamanan yang memburunya dalam suatu operasi militer. Tapi, upaya menghentikan perlawanan tak pernah berhasil diredam. Dengan cara apapun, termasuk bidikan timah panas pun selalu lolos. Setelah sekian puluh tahun mengembara di tengah belantara Papua, Thadius Yogi dan gerombolannya mulai pulang kampung. Sekitar pertengahan tahun 2000, ia berhasil menguasai dusun Eduda.
Keputusan pulang kampung, memang mengundang beragam reaksi. Sebagian menilai, Yogiibo –sapaan akrab– sudah tidak seperti dulu. Ia sudah menyerah ke tangan Indonesia? Begitu prasangka yang menyeruak saat itu.
“Saya bukan menyerah. Saya tetap berjuang, tetapi sekarang dengan cara lain. Tidak lagi dengan senjata,” ujarnya mantap.
Upaya pemerintah merebut hati sang gerilyawan tak pernah berhasil. Buktinya, tahun 2002, pemerintah menawarkan jabatan politik tertentu untuk segera kembali ke pangkuan NKRI. Selain itu, kompensasi atas tanah adat milik klan Yogi di Madi yang kini dipakai Pemerintah Kabupaten Paniai dijanjikan akan dibayar dengan dana yang cukup menggiurkan.
Tapi, bagi Yogiibo, pembayaran kompensasi tersebut tak perlu dipolitisir. Jika pemerintah mau bayar, ya bayar uang kompensasi saja, tak usah diembel-embel dengan unsur politik. Lantaran beda persepsi dan tak ada kata sepakat, hingga kini persoalan lokasi tersebut belum tuntas. Permintaan Thadius dianggap terlalu berlebihan, sementara pemerintah daerah berdalih jika besaran dana yang dipatoknya dibayar berarti itu otomatis merupakan satu bargaining politik untuk kembali menjadi warga negara Indonesia yang baik, tidak lagi menjadi pemberontak.
Meski begitu, tawaran demi tawaran yang diperdagangkan pemerintah tak jua meruntuhkan hati seorang Daidabi –nama adat Panglima Kodap IV Paniai TPN West Papua.
Dalam berbagai kesempatan, misalnya saat perayaan 1 Desember 2008, ia berbicara lantang mengenai pengalaman pahit yang sangat menyedihkan yang dialami rakyat Papua sepanjang sejarah hidup semenjak terjadinya proses aneksasi puluhan tahun silam.
Itu sebabnya, komitmen untuk membebaskan Negeri Kasuari dari jeratan penjajah, masih begitu kuat mengental dalam sanubarinya. Totalitas bagi pembebasan Papua tak perlu diragukan lagi, karena telah dibuktikan: setia bergerilya meski dalam kondisi apapun.
Keberadaannya cukup merepotkan aparat keamanan. Ya, gerak-gerik gembong Thadius Yogi cukup menyita perhatian Jakarta. Perjuangannya dianggap satu ancaman negara ini. Karena itu, Yogi harus diamankan..
Alhasil, berbagai upaya pun dilakukan pemerintah bersama aparaturnya untuk menjinakkan Yogiibo. Mulai dari kontak senjata melalui berbagai operasi militer hingga yang lunak, negara menganggarkan dana khusus dengan sandi bantuan sosial berupa pembangunan perumahan bagi Thadius Yogi dan para pengikutnya.
Terakhir, bekas Menkokesra, Aburizal Bakrie datang langsung ke Paniai dengan agenda khusus yakni, bertemu langsung dengan Yogiibo. Bersamaan dengan itu bekas Menkokesra juga hendak menyerahkan bantuan sosial. Anggaran yang disiapkan bukan main, 6 Miliar! Tapi, ia tolak. Bagi Tadius Yogi, mungkin uang bukan segala galanya, masih banyak jalan untuk bertahan hidup.
Bukan hanya itu. Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Paniai juga tak kehilangan akal. Mereka melancarkan berbagai taktik menggenapi pesan Jakarta. Baru-baru ini pemerintah daerah sempat mendekati Thadius Yogi dengan setumpuk rupiah. Konon kabarnya, uang tersebut hendak diberikan terkait kompensasi lokasi di Madi. Tak berlebihan bila saat pertemuan, terdengar kata jimat bahwa anggaran itu tidak dipandang dari sisi politik. Bukan hendak memendam aspirasi kemerdekaan yang didengungkannya sejak lama. Tapi katanya itu dana kompensasi tanah. Sumber lain menyebut, dana tersebut dalam rangka pengamanan Pemilu 2009. Betulkah?
Entahlah. Tapi yang jelas, informasi pertemuan itu pun sontak saja tersiar luas. Tak pelak, pelbagai isu langsung menggema. Dari mulut ke mulut. Bahkan terdengar hingga keluar Paniai.
Yogiibo dihujat rakyat habis-habisan. Ia dicap pembangkang.Pengecut. Yudas. Dan sederet label lainnya. Meski terus dicebir dan dicurigai, ia tak bergeming sedikitpun. Komitmennya tak akan terbayarkan dengan uang atau barang. Kalau pemerintah mau bantu rakyat, bangun rumah, jalan atau jembatan, obat gratis, jalankan program pembangunan, silakan saja. “Itu kewajibannya. Tapi dengan ini semua tidak akan mematikan perjuangan murni kami,” tekadnya.
Perjuangan yang dilakoni Yogi semenjak awal memilih hidup menjadi pejuang bagi pembebasan negeri dan rakyat di Tanah Papua, tetap dilanjutkan meski selama ini muncul beragam rayuan pemerintah untuk menyerah dan kembali menjadi warga NKRI.
Baginya, trik politik yang dimainkan Jakarta bukan hal baru. Serupa juga dialami rekan pejuang lainnya. Kalaupun pemerintah berhasil meng-Indonesia-kan pejuang tertentu di beberapa daerah, seperti di Oksibil, itu hanyalah rekayasa belaka. TPN dan OPM tak mungkin menyerah sebelum menggapai impiannya yang telah dibayar mahal dengan derai air mata dan darah.
Panglima Operasi Papua Merdeka (OPM), Makodam IV Paniai Papua Barat, Tadius Yogi menolak bertemua dengan Menko Kesra Republik Indonesia, Aburizal Bakrie yang dijadwal pada tanggal 9 September 2009. Tadius Yogi menolak bertemu Menko Kesra karena pertahanan puluhan tahun di hutan Papua Barat adalah bukan soal makan minum.
“Kami tidak bisa didekati dengan soal makam dan minum. Ini bukan soal kesejahteraan. Kami pertahankan perjuangan selama puluhan ini bukan soal makan minum. Kami pertahankan Kemerdekaan Papua Barat (1 Desember 1961) yang pernah dicuri Indonsia,” katanya kepada WPToday.
“Katanya, pemerintah Indonesia melalui Menko Kesra menyiapkan uang Rp 60 Milyar untuk membayar saya supaya mundur dari perjuangan Papua Merdeka. Tetapi, pertahanan puluhan tahun itu tidak senilai dengan Rp 60 Milyar. Uang itu adalah yang mereka dapat dari kekayaan di Papua Barat. Ratusan ribu nyawa yang korban demi Papua Barat tidak akan pernah sia-sia, apalagi dibayar dengan uang Rp 60 Milyar. Itu tidak mungkin,” kata Tadius. Soal uang itu tidak mungkin, soal Papua bukan makan dan minum semata.
Menanggapi kunjungan bekas Menko Kesra Aburizal ke Paniai. Tadius mengatakan, Dia itu datang ke Paniai untuk bertemu dengan pejabat pemerintah Indonesia yang ada di Paniai. “Bukan ketemu saya. Memang, pemerintah Kabupaten Paniai sudah menghubungi saya tentang rencana pertemuan khusus.Tetapi saya menolak dengan tegas.Dia berkunjung ke Paniai itu dalam rangka peresmian pembangunan permukiman terpadu tahap pertama di Kabupaten Paniai, di Kota Enarotali.
“Kalau mau melakukan pertemuan, seharusnya dia harus mencoba pertemuan yang lebih luas. Hadirkan berbagai pihak yang berkompeten. Pihak Jakarta tidak bisa berbuat seperti itu. Harus ada PBB, Belanda, Amerika dan Indonesia, maka rakyat Papua akan datang untuk bicara sama-sama soal Papua Barat,” katadia.
Menjawab soal pertahanan dan perjuangannya, menurut dia Papua Barat siap merdeka. Perjuangan Papua sudah jauh. Ratusan ribu nyawa orang Papua tidak akan pernah sia-sia.(